Kurangnya Guru Pendamping: Tantangan Pendidikan Inklusif Indonesia

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Peran Guru Pendamping Khusus dalam Pendidikan Inklusif

Pendidikan inklusif merupakan upaya pemerintah untuk menyediakan kesempatan pendidikan yang setara bagi seluruh anak, termasuk Anak Berkebutuhan Khusus (ABK). Tujuannya adalah agar semua siswa bisa belajar bersama di lingkungan sekolah reguler dengan dukungan sarana dan prasarana yang memadai. Namun, dalam praktiknya, banyak tantangan yang masih menghambat keberhasilan sistem ini.

Salah satu komponen kunci dalam pendidikan inklusif adalah kehadiran Guru Pendamping Khusus (GPK). GPK adalah tenaga pendidik yang memiliki kompetensi khusus dalam membantu ABK mengikuti ritme pembelajaran secara optimal. Tugas mereka tidak hanya sebatas mengawasi, tetapi juga memberikan bimbingan khusus, menyusun instrumen pembelajaran yang sesuai, melakukan evaluasi terhadap ABK yang mengalami kesulitan belajar, serta menjadi penghubung antara anak, guru, orang tua, dan lingkungan sekolah.

Dengan hadirnya GPK, sekolah inklusif dapat berjalan sesuai visinya, yaitu menciptakan ruang belajar yang adil bagi semua anak. Sayangnya, realitas di lapangan jauh dari harapan. Indonesia masih mengalami kekurangan serius dalam jumlah GPK. Data menunjukkan bahwa hanya ada 4.695 GPK, ditambah 10.244 guru reguler yang terlatih untuk mendampingi penyandang disabilitas. Sementara itu, jumlah satuan pendidikan inklusif mencapai 44.477 di tingkat dasar dan menengah, yang menampung 146.205 siswa penyandang disabilitas.

Kekurangan Guru Pendamping Khusus

Berdasarkan regulasi, setiap satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan inklusif wajib menyediakan paling sedikit satu GPK. Namun, dalam praktiknya, banyak sekolah belum memenuhi aturan ini. Contohnya, SD Al Mutaqim di Bekasi belum memiliki GPK karena keterbatasan sumber daya dan kurangnya pengetahuan tentang perencanaan program pendidikan bagi ABK. Akibatnya, guru reguler harus merangkap tugas sebagai pendamping.

Situasi serupa juga terjadi di SD Susukan 04 Unggaran, Semarang, di mana guru pustakawan menjadi pendamping ABK. Hal ini menunjukkan adanya ketimpangan antara regulasi dan implementasi nyata. Keberadaan GPK yang seharusnya menjadi ujung tombak pendidikan inklusif justru diabaikan. Tanpa GPK, hak belajar ABK akan sulit terpenuhi.

Minimnya ketersediaan GPK juga berdampak pada guru reguler yang harus menanggung tugas ganda. Mereka terpaksa mengambil peran sebagai pendamping meskipun tidak memiliki pengetahuan yang cukup tentang penyusunan instrumen pembelajaran khusus bagi ABK. Jika kondisi ini terus berlanjut, akan terjadi ketidakadilan bagi kedua pihak: ABK tidak mendapatkan bimbingan yang layak, dan guru reguler terbebani dengan tanggung jawab yang bukan miliknya.

Potensi ABK yang Harus Diberdayakan

Setiap ABK memiliki potensi untuk berkembang secara optimal. Mereka hanya butuh ruang belajar yang mendukung, bimbingan khusus, dan kesempatan belajar yang setara seperti anak lainnya. Dengan dukungan yang tepat, ABK mampu mengikuti proses pendidikan dan menjadi pribadi yang mandiri dan cerdas, meski dengan keterbatasan yang dimilikinya.

Saatnya Pemerintah Bertindak

Pemerintah sebagai regulator pendidikan inklusif harus segera mengambil langkah konkret untuk mengatasi krisis GPK. Salah satu akar masalah adalah rendahnya jumlah perguruan tinggi yang menyediakan program studi Pendidikan Luar Biasa. Hanya 13 perguruan tinggi di seluruh Indonesia yang memiliki jurusan tersebut. Situasi ini diperparah oleh meningkatnya jumlah siswa penyandang disabilitas, yang naik sebesar 15% dalam periode 2021–2023, sementara pertumbuhan jumlah guru SLB hanya 5%.

Selain itu, banyak GPK yang sudah ada di sekolah reguler masih menghadapi masalah seperti status kepegawaian yang tidak tetap dan tidak semua dari mereka terdata di Dapodik. Hal ini membuat penghasilan dan status mereka bergantung pada kebijakan daerah, sehingga semakin memperlebar jurang antara regulasi dan realitas lapangan.

Pemerintah harus segera mengakui status GPK dan mengambil langkah strategis untuk mengatasi krisis ini. Penyediaan anggaran, regulasi yang jelas, serta unsur penunjang lainnya menjadi bentuk nyata komitmen pemerintah dalam menjalankan pendidikan yang adil, ramah ABK, dan setara bagi semua anak.