
Kritik Terhadap Program Makan Bergizi Gratis (MBG)
Dua organisasi pendidikan ternama, Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) dan Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), secara bersama-sama menyampaikan desakan untuk menghentikan sementara program Makan Bergizi Gratis (MBG). Mereka menilai bahwa program ini tidak hanya menyebabkan ribuan korban keracunan, tetapi juga berpotensi merugikan negara, menambah beban guru dan sekolah, serta mengurangi anggaran pendidikan yang dijamin oleh UUD 1945.
FSGI menyerukan agar pemerintah segera melakukan moratorium terhadap MBG. Desakan ini muncul setelah terjadi berbagai kasus keracunan massal siswa akibat makanan yang diberikan dalam program tersebut. FSGI menilai bahwa evaluasi total harus dilakukan sebelum program ini dilanjutkan agar tidak menimbulkan korban baru.
Sekretaris Jenderal FSGI, Fahriza Marta Tanjung, menyebutkan bahwa sedikitnya ada 14 provinsi yang melaporkan masalah terkait MBG. Masalah ini mencakup makanan yang basi, lauk yang berbelatung dan berkecoa, porsi makanan yang tidak layak gizi, hingga ratusan siswa jatuh sakit setelah mengonsumsi makanan tersebut.
“Jika tidak segera dimoratorium, maka setiap daerah hanya tinggal menunggu giliran terjadi keracunan,” ujarnya pada Rabu 24 September 2025.
Salah satu kasus paling serius terjadi di Cipongkor, Kabupaten Bandung Barat, di mana 364 siswa keracunan. Pemerintah daerah setempat langsung menetapkan status Kejadian Luar Biasa (KLB). FSGI menilai langkah ini harus menjadi contoh agar pemerintah pusat juga menetapkan KLB secara nasional.
Beban Tambahan bagi Guru dan Sekolah
Selain soal keamanan pangan, FSGI juga menyoroti beban tambahan bagi guru dan sekolah. Di Sleman, guru diminta mencicipi makanan MBG terlebih dahulu untuk mencegah keracunan siswa, sebuah kebijakan yang dinilai justru membahayakan guru.
Di Ngawi, sekolah bahkan diwajibkan membeli wadah makanan baru dengan harga dua kali lipat dari harga pasar. Tidak hanya itu, ada kepala sekolah yang menolak menandatangani nota kesepahaman MBG karena meragukan kualitas distribusi dan gizi. Penolakan ini didasarkan pada kekhawatiran bila sekolah diminta bertanggung jawab apabila terjadi keracunan massal.
“Keputusan kepala sekolah yang mengutamakan keselamatan siswa ini patut diapresiasi,” ujar Ketua Umum FSGI, Fahmi Hatib.
Masalah di Jakarta
Di Jakarta, persoalan berbeda muncul. Makanan MBG kerap tersisa karena siswa enggan mengonsumsinya. Ratusan porsi terbuang setiap hari, bahkan sebagian dibawa pulang guru agar tidak mubazir. FSGI menilai fenomena ini menunjukkan kerugian negara akibat perencanaan yang lemah.
Ketua Dewan Pakar FSGI, Retno Listyarti, menyatakan masalah ini semakin ironis karena anggaran MBG terus membengkak. “Tahun 2025 pemerintah menganggarkan Rp 71 triliun, tapi sampai September serapannya baru 22 persen. Anehnya, tahun 2026 justru dinaikkan drastis menjadi Rp 335 triliun,” katanya.
Eskalasi Korban Keracunan
Sejalan dengan FSGI, JPPI juga mendesak moratorium MBG. JPPI mencatat eskalasi korban keracunan terus meningkat. Per 14 September 2025, jumlah korban mencapai 5.360 anak, dan hanya dalam sepekan bertambah 1.092 anak menjadi 6.452.
Koordinator Nasional JPPI, Ubaid Matraji, menilai kondisi ini sudah layak disebut sebagai KLB nasional. Namun pemerintah dan DPR RI justru memilih tetap melanjutkan program tersebut. “Ini bukan sekadar kebijakan keliru, tapi bentuk pengkhianatan terhadap UUD 1945 sekaligus memporak-porandakan sektor pendidikan,” ujarnya.
Menurut JPPI, keputusan DPR mengalokasikan Rp 335 triliun untuk MBG dengan memangkas Rp 223 triliun dari pos pendidikan adalah blunder besar. Pasalnya, setelah pemangkasan tersebut, anggaran pendidikan hanya tersisa 14 persen dari APBN, jauh di bawah amanat konstitusi sebesar 20 persen.
JPPI menyebut pemerintah dan DPR telah melakukan lima “dosa besar” terkait MBG. Pertama, mengkhianati UUD 1945 dengan memangkas anggaran pendidikan. Kedua, mengabaikan hak anak atas pendidikan. Ketiga, menggeser kebutuhan dasar pendidikan seperti infrastruktur sekolah, kesejahteraan guru, dan sarana belajar. Keempat, membuka peluang konflik kepentingan dan korupsi. Kelima, tidak mendengar suara publik yang meminta evaluasi menyeluruh.
“Skema MBG ini lebih mirip proyek mercusuar untuk kepentingan politik ketimbang layanan publik. Alih-alih menyehatkan, program ini justru membahayakan anak-anak,” kata Ubaid.
JPPI menuntut agar pemerintah menetapkan status KLB, menghentikan sementara MBG, serta mengembalikan Rp223 triliun anggaran pendidikan yang dialihkan. Dana tersebut diminta untuk dialokasikan ke kebutuhan fundamental seperti peningkatan kualitas guru, perbaikan sekolah rusak, dan pelaksanaan pendidikan gratis sesuai putusan Mahkamah Konstitusi.
“MBG terbukti lebih banyak mudaratnya daripada manfaatnya. Demi keselamatan anak-anak Indonesia dan masa depan pendidikan, hentikan dulu program ini sebelum jatuh korban lebih banyak,” kata Ubaid.


Komentar
Tuliskan Komentar Anda!