
Pendekatan Pendidikan yang Berbeda: Merdeka Belajar dan Homeschooling
Bulan Agustus sering dikaitkan dengan perayaan kemerdekaan. Namun, kali ini kita tidak akan membahas tentang lomba-lomba atau pahlawan nasional. Justru, saya ingin berbagi pengalaman mengenai pendekatan pendidikan yang dinamakan Merdeka Belajar, yang diinisiasi oleh Nadiem Makarim pada Desember 2019.
Merdeka Belajar bukan berarti belajar sesuka hati tanpa arah. Konsep ini justru menekankan bahwa anak belajar dengan cara yang paling cocok untuk dirinya sendiri. Mereka diberi kesempatan untuk mengeksplorasi minat dan potensi mereka tanpa dipaksa menjadi seragam. Proses belajar tidak hanya fokus pada nilai, tetapi juga pada pemahaman dan pengalaman. Guru atau orang tua bertindak sebagai fasilitator, bukan "penguasa kelas".
Konsep ini sangat sejalan dengan prinsip homeschooling, yang sudah banyak diterapkan oleh orang tua di berbagai negara. Beberapa negara seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris, Australia, Selandia Baru, Afrika Selatan, Austria, dan Italia telah melegalisasi homeschooling.
Apa Itu Homeschooling?
Homeschooling bukan sekadar "sekolah di rumah". Ini adalah sistem pembelajaran yang fleksibel, personal, dan disesuaikan dengan kebutuhan anak. Sebagai orang tua, saya bisa memilih metode belajar yang sesuai dengan karakter anak. Bisa melalui diskusi, proyek, eksplorasi alam, membaca buku, atau menonton film. Kurikulumnya pun bisa disesuaikan, baik itu menggunakan kurikulum nasional, Cambridge, Montessori, atau bahkan membuat sendiri.
Yang terpenting, anak tidak harus duduk 6–8 jam sehari di depan buku. Mereka bisa belajar kapan saja, di mana saja, dan dengan siapa saja. Hal ini memberikan kebebasan yang lebih besar dalam proses belajar.
Mengapa Homeschooling Setara dengan Merdeka Belajar?
Ada beberapa alasan mengapa homeschooling dapat dianggap sebagai implementasi dari Merdeka Belajar:
1. Anak Belajar Sesuai Minat dan Bakat
Anak yang suka menggambar tidak dipaksa untuk jago matematika. Yang hobi sains bisa fokus pada eksperimen tanpa khawatir nilai Bahasa Indonesia-nya turun. Proses belajar diarahkan pada apa yang anak sukai dan bisa.
Dari pengalaman pribadi, saya tidak memaksakan materi yang belum diminati anak. Misalnya, ketika anak masih balita, saya tidak memaksakan les calistung. Saya lebih memilih mendukung hobinya bersepeda. Ketika anak mulai menunjukkan minat pada berhitung, saya langsung mendukungnya.
2. Waktu Belajar Bisa Diatur Sendiri
Tidak semua anak bisa fokus jam 7 pagi. Ada yang baru "on" jam 10 pagi, dan itu tidak masalah. Anak bisa belajar di waktu terbaiknya, bukan waktu yang ditentukan oleh sistem.
Contohnya, anak saya biasanya baru mau belajar jam 11 siang. Tidak jarang, dia bilang, "Mam, baca buku ini yuk!" di jam 9 malam. Karena komitmen dengan homeschooling, saya selalu menyetujui ajakannya.
3. Evaluasi yang Lebih Manusia
Tidak ada ujian standar yang membuat stres dan pusing kepala. Evaluasi dilakukan melalui diskusi, karya nyata, atau portofolio. Anak belajar bukan untuk nilai, melainkan untuk memahami konsep.
4. Lingkungan Belajar yang Aman dan Supportif
Di mana pun selalu ada anak yang nakal dan suka membully. Meski tidak semua anak terlahir nakal, lingkungan yang aman dan supportif sangat penting. Homeschooling memungkinkan orang tua lebih selektif dalam memilih lingkungan anak, termasuk dalam belajar. Tanpa tekanan bullying dan perbandingan dengan teman sekelas, anak bisa tumbuh menjadi pembelajar sejati yang percaya diri dan mandiri.
Pertimbangan Sebelum Memilih Homeschooling
Meski homeschooling terlihat menarik, tidak semua keluarga cocok menerapkannya. Dibutuhkan komitmen tinggi dari orang tua, fleksibilitas waktu, dan kesiapan mental untuk keluar dari zona nyaman sistem sekolah formal. Bagi orang tua yang terbiasa dengan pendidikan konvensional, ini bisa menjadi tantangan tersendiri.
Namun, bagi orang tua yang merasa sekolah konvensional terlalu sempit untuk potensi anaknya, homeschooling bisa menjadi pilihan yang membebaskan sekaligus menantang.
Proses belajar bisa dilakukan di mana saja, kapan saja, dan bersama siapa saja. Tidak terbatas pada satu atau beberapa guru yang ada di sekolah konvensional.
Tujuan pendidikan bagi keluarga saya bukanlah ijazah atau nilai tinggi, tapi anak yang bahagia, percaya diri, dan terus mau belajar sepanjang hidupnya.


Komentar
Tuliskan Komentar Anda!