Pendidikan Seni: Dari Pinggiran ke Pusat Keputusan

AIOTrade App AIOTrade App

AIOTRADE

Trading Autopilot menggunakan teknologi Artificial Intelligence (AI) yang membantu Anda melakukan trading di market spot (Bukan Future) secara otomatis di Binance & Bitget dengan cepat, mudah, dan efisien.

Binance Bitget

Mengapa Trading Crypto Menggunakan Aio Trade?

Aio Trade cocok digunakan untuk semua kalangan, baik Trader Pemula, Profesional, maupun Investor.

24/7 Trading

Aio Trade bekerja sepanjang waktu tanpa henti.

Cepat & Efisien

Menganalisa kondisi pasar secara otomatis.

Strategi AI

Menggunakan AI untuk strategi profit maksimal.

Fitur Timeframe

Memantau harga sesuai timeframe pilihan.

Manajemen Risiko

Mengelola modal otomatis untuk minim risiko.

Averaging & Grid

Teknik Averaging & Grid dioptimalkan AI.

Featured Image

Perubahan dari "Butuh Rumah" ke "Harus di Pusat Keputusan"

Pendidikan tinggi seni perlu mendapatkan perhatian yang lebih serius dan struktural. Dalam tulisan sebelumnya, disampaikan bahwa pendidikan seni tidak cukup hanya diberi rumah institusi, tetapi harus ditempatkan di pusat pengambilan keputusan negara. Hal ini penting agar pendidikan seni dapat memberikan arah nyata bagi kebijakan kebudayaan, penguatan ekonomi kreatif, serta diplomasi internasional.

Dari berbagai masukan yang diterima, baik dari seniman, akademisi, maupun pengamat kebijakan, muncul kesadaran bahwa pendidikan seni tidak boleh lagi dianggap sebagai bagian yang terpinggirkan. Ia harus menjadi bagian utama dalam proses perumusan kebijakan nasional. Perubahan dari “butuh rumah” menuju “harus di pusat keputusan” adalah langkah logis dan mendesak.

Isyarat Penting dari Akademisi dan Pemerintah

Beberapa suara telah mengingatkan pentingnya posisi kampus seni dalam sistem pendidikan nasional. Dr. Aris Setiawan dalam artikelnya menyebutkan bahwa kampus seni selama ini terpinggirkan karena diukur dengan standar universitas besar seperti jumlah mahasiswa, publikasi ilmiah, dan peringkat kuantitatif. Padahal, mandat kampus seni berbeda: menjaga warisan tradisi, mengembangkan karya, serta memperkuat keberagaman identitas bangsa.

Menurutnya, kampus seni seharusnya ditempatkan langsung di bawah Kementerian Kebudayaan, sebagaimana kampus agama berada di bawah Kementerian Agama. Pandangan ini menegaskan perlunya penataan struktur yang sesuai dengan fungsi kampus seni.

Di sisi lain, Deputi Kemenko PMK, Prof. Warsito dalam kuliah umum di ISI Denpasar menyebut kampus seni sebagai “jembatan antara tradisi dan inovasi.” Ia menekankan pentingnya integrasi teknologi, termasuk kecerdasan buatan, agar budaya Indonesia tampil otentik di ruang digital global. Selain itu, ia juga menekankan kerja sama kampus seni dengan sektor strategis, seperti KEK Animasi Malang, untuk menghubungkan seni dengan industri kreatif modern.

Dari Kesadaran ke Kebijakan Nyata

Suara dari akademisi dan pemerintah ini merupakan benih yang sehat, namun kesadaran saja tidak cukup. Ia harus berubah menjadi kebijakan nyata. Titik penentu dari perubahan ini terletak pada keberanian menata politik anggaran.

Selama ini, pendidikan seni hanya mendapat porsi dana tambahan atau hibah sementara. Akibatnya, program jangka panjang sering terhenti, fasilitas kampus tertinggal, dan potensi lulusan tidak tersalurkan secara optimal. Seni diakui dalam retorika, tetapi tidak dijamin dalam struktur fiskal. Jika seni benar-benar dianggap penting, alokasi anggarannya harus tegas dan struktural dalam APBN. Bahkan, kampus seni unggulan layak ditetapkan sebagai proyek strategis nasional. Tanpa langkah ini, perubahan hanya akan berhenti pada seminar dan festival, bukan transformasi.

Ekosistem Seni dan Diplomasi Kebangsaan

Pendidikan seni tidak berhenti di ruang kuliah. Ia baru bermakna ketika lulusan memiliki ruang hidup yang memungkinkan keilmuannya berkembang. Saat ini, ekosistem itu masih rapuh. Banyak lulusan seni beralih ke bidang lain; bukan karena kurang kompetensi, melainkan karena dukungan sistemik minim.

Negara dapat menghadirkan kebijakan sederhana, tetapi berdampak luas. Ruang publik dapat diwajibkan menampilkan karya anak bangsa sebagai bagian dari wajah kota. Proyek pembangunan infrastruktur dapat memberi porsi khusus bagi seniman lokal. Lembaga keuangan bisa menyiapkan kredit kreatif berbunga rendah, agar studio, galeri, dan usaha seni dapat tumbuh. Media publik pun dapat menyediakan ruang tayang reguler untuk karya seni generasi muda, sehingga kreativitas mereka tidak hanya hidup sebentar dalam festival.

Ekosistem yang kokoh tidak hanya memberi nafkah pada seniman, tetapi juga memperluas pengaruh bangsa. Seni dapat berperan sebagai instrumen diplomasi, bukan sekadar hiburan seremonial. Lulusan seni dapat menjadi atase budaya, kurator internasional, produser pertunjukan global, atau peneliti budaya di lembaga internasional. Mereka tidak hanya menampilkan karya, tetapi juga membentuk narasi dan memperluas jejaring yang membawa nama Indonesia ke ranah global.

Keberanian Politik sebagai Penentu

Semua gagasan di atas akhirnya bermuara pada satu hal: keberanian politik. Pemekaran Kementerian Kebudayaan sudah memberi titik awal yang penting. Namun, tanpa keputusan struktural yang nyata, pemekaran itu akan berakhir sebagai papan nama baru.

Keberanian politik berarti memindahkan kendali pendidikan seni ke Kementerian Kebudayaan, dengan mandat, anggaran, dan regulasi yang berdiri sendiri. Ia juga berarti memberi alokasi anggaran yang pasti dan berkelanjutan, bukan hibah insidental. Lebih jauh lagi, keberanian itu menuntut dibukanya ruang partisipasi luas bagi seniman, akademisi, dan mahasiswa seni dalam proses perumusan kebijakan. Dengan cara itu, arah kebudayaan lahir dari dialog, bukan sekadar keputusan administratif.

Tanpa keberanian semacam ini, pola lama akan terus berulang: festival demi festival, seminar demi seminar, dengan hasil yang lebih simbolis daripada substansial. Namun, bila langkah berani diambil, pendidikan seni dapat bertransformasi menjadi fondasi kokoh kebudayaan bangsa. Dari pinggiran, ia bergerak ke pusat; dari simbol, ia berubah menjadi strategi; dari pelengkap, ia menjelma menjadi penggerak pembangunan nasional.

Indonesia memiliki modal besar: warisan seni yang kaya, generasi muda yang kreatif, dan kesadaran publik yang semakin kuat. Sekarang, hal yang diperlukan hanyalah keputusan politik yang berani. Dengan itu, seni tidak lagi bertahan di pinggir, tetapi berdiri di pusat pengambilan keputusan dan memberi arah yang lebih jelas bagi masa depan kebudayaan, ekonomi kreatif, dan diplomasi bangsa.