
Oleh: Anggota Keluarga Alumni Geografi Gadja Mada, Pemerhati Pendidikan Geografi
Geografi adalah ilmu yang memandang dunia melalui lensa keruangan—mengungkap mengapa suatu fenomena terjadi di suatu tempat, bagaimana ia menyebar, dan apa dampaknya terhadap manusia dan lingkungan. Di tengah tantangan global yang semakin kompleks—dari perubahan iklim, pandemi, hingga konflik geopolitik—pemahaman geografis bukan lagi sekadar pelengkap dalam pendidikan, melainkan kebutuhan strategis. Namun, di Indonesia, Geografi masih dikotakkan secara sempit dalam kelompok Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS), seolah-olah ilmu ini hanya berkaitan dengan deskripsi wilayah atau kependudukan, bukan sebagai disiplin ilmu yang mengintegrasikan fisika, kimia, matematika, kesehatan, dan teknologi.
Kebijakan seperti Keputusan Mendikdasmen Nomor 102/M/2025 justru memperkuat dikotomi ini, dengan menempatkan Geografi sebagai mata pelajaran pendukung yang terbatas pada siswa IPS, sementara siswa IPA—yang memiliki bekal sains kuat—dihalangi dari akses penuh terhadap ilmu yang sangat relevan dengan kajian sistem bumi dan dinamika spasial. Padahal, seperti diungkapkan Harm de Blij dalam The Power of Place, "geography is destiny"—nasib suatu bangsa sangat ditentukan oleh letaknya, akses terhadap sumber daya, dan kemampuannya membaca peta keruangan. Indonesia, sebagai negara maritim dengan 17.000 pulau dan posisi strategis di jalur perdagangan global, seharusnya menjadikan Geografi sebagai poros utama dalam pendidikan kebangsaan.
Namun, dengan struktur kurikulum saat ini, kita justru menciptakan generasi yang buta spasial: siswa IPA yang paham sains tapi tidak mengerti dinamika laut atau iklim, dan siswa IPS yang paham wilayah tapi lemah dalam analisis kuantitatif. Ini adalah celah besar yang mengancam kesiapan bangsa dalam menghadapi krisis lingkungan, kesehatan, dan ketahanan nasional. Oleh karena itu, penting untuk melihat Geografi bukan sebagai ilmu sosial semata, melainkan sebagai disiplin lintas rumpun yang interdisipliner dan esensial.
Dalam naskah ini, kita akan mengupas secara mendalam bagaimana Geografi, sebagaimana ditunjukkan oleh para ahli seperti Melinda S. Meade, Robert H. Stewart, Peter A. Rogerson, dan Tim Marshall, merupakan ilmu yang menggabungkan sains alam, kesehatan, statistik, dan geopolitik. Mulai dari pemetaan penyebaran penyakit hingga analisis arus laut dan kebijakan antariksa, Geografi hadir di garda depan tantangan masa depan. Melalui tujuh sub-bab yang komprehensif, kita akan menunjukkan bahwa telah tiba waktunya bagi Indonesia untuk melepaskan Geografi dari belenggu klasifikasi yang keliru, dan menempatkannya pada posisi yang layak: sebagai ilmu strategis, lintas disiplin, dan wajib bagi seluruh calon pemimpin bangsa.
Kelirunya Menempatkan Geografi Hanya dalam Rumpun IPS
Dalam sistem pendidikan nasional Indonesia, Geografi selama ini dikategorikan secara eksklusif sebagai bagian dari kelompok mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial (IPS). Kebijakan ini, yang diperkuat melalui Keputusan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 102/M/2025, menempatkan Geografi hanya sebagai pilihan bagi siswa dari jurusan IPS, sementara siswa IPA—yang memiliki latar belakang kuat dalam matematika, fisika, dan kimia—tidak diwajibkan, bahkan sering tidak diberi akses, untuk mempelajarinya.
Padahal, hakikat keilmuan Geografi jauh lebih kompleks dan luas daripada dikotomi sempit antara "alam" dan "sosial". Geografi adalah ilmu yang secara inheren interdisipliner, mengintegrasikan aspek fisik, manusia, dan teknologi untuk memahami pola keruangan dan dinamika sistem bumi. Menempatkannya hanya dalam rumpun IPS bukan hanya merupakan kekeliruan epistemologis, tetapi juga sebuah kesalahan strategis yang menghambat kesiapan bangsa dalam menghadapi tantangan masa depan seperti perubahan iklim, bencana alam, krisis kesehatan, dan ketahanan maritim.
Fakta bahwa Geografi dikotakkan dalam rumpun IPS menciptakan distorsi besar dalam pemahaman masyarakat dan pembuat kebijakan tentang peran ilmu ini. Banyak yang masih menganggap Geografi sebagai ilmu yang hanya menghafal nama-nama sungai, gunung, atau negara—padahal dunia telah jauh melampaui itu. Geografi modern adalah ilmu yang menggunakan teknologi satelit, pemodelan matematis, dan analisis data spasial untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan kritis tentang bencana, kesehatan, migrasi, dan perubahan iklim.
Di perguruan tinggi, program studi seperti Ilmu Kebumian, Perencanaan Wilayah, dan Kesehatan Masyarakat sangat bergantung pada dasar Geografi, namun di tingkat sekolah, akses terhadap ilmu ini sangat terbatas. Akibatnya, mahasiswa sering kali harus memulai dari nol, tanpa bekal yang memadai. Lebih jauh, kebijakan ini menciptakan kesenjangan antara siswa IPA dan IPS. Siswa IPA, yang memiliki kompetensi kuat dalam sains dan matematika, sebenarnya sangat cocok untuk mempelajari Geografi Fisik, klimatologi, atau oseanografi, tetapi mereka tidak diajarkan karena Geografi tidak masuk dalam kurikulum mereka.
Sebaliknya, siswa IPS yang belajar Geografi sering kali hanya menerima pendekatan deskriptif, tanpa pengembangan kemampuan analitis atau kuantitatif. Hasilnya, ketika mereka melanjutkan ke perguruan tinggi, banyak yang kewalahan menghadapi tuntutan akademik di program studi yang membutuhkan kombinasi antara pemahaman sosial, sains alam, dan teknologi. Kesalahan klasifikasi ini bukan hanya soal kurikulum, tetapi soal masa depan bangsa. Indonesia adalah negara maritim dengan 17.000 pulau, 81.000 km garis pantai, dan posisi strategis di jalur perdagangan global. Untuk mengelola wilayah sebesar ini, kita butuh generasi yang melek geospasial—yang mampu membaca peta, memahami dinamika laut, menganalisis risiko bencana, dan merancang kebijakan berbasis lokasi.
Namun, jika Geografi hanya diajarkan sebagai bagian dari IPS, maka kita menghasilkan dua kelompok: satu paham sains tapi buta spasial, satu paham wilayah tapi lemah analisis. Ini adalah formula untuk kegagalan dalam perencanaan nasional. Oleh karena itu, sudah saatnya kita mengakui bahwa Geografi bukanlah ilmu sosial murni, bukan pula ilmu alam semata, melainkan ilmu integratif yang harus diakses oleh semua siswa, terlepas dari peminatannya. Reformasi posisi Geografi dalam sistem pendidikan bukan hanya urusan akademik, tetapi soal ketahanan nasional. Kita tidak bisa lagi menganggap Geografi sebagai pelengkap atau mata pelajaran pelengkap. Ia adalah ilmu strategis yang menentukan bagaimana kita memahami, mengelola, dan merancang masa depan Indonesia.
Geografi sebagai Ilmu Interdisipliner: Integrasi Alam, Manusia, dan Teknologi
Geografi, dalam esensinya, adalah ilmu tentang spatial patterns and processes—pola dan proses yang terjadi di permukaan bumi dan mengapa mereka berada di tempat tertentu. Buku Medical Geography oleh Melinda S. Meade dan Michael Emch secara tegas menunjukkan bahwa pemahaman tentang kesehatan dan penyakit tidak bisa dilepaskan dari konteks geografis. Penyebaran penyakit seperti malaria, HIV, dan kolera sangat dipengaruhi oleh faktor lokasi, iklim, akses terhadap layanan kesehatan, dan mobilitas penduduk.
Dalam konteks ini, Geografi bukan hanya soal deskripsi wilayah, tetapi tentang analisis spasial yang mendalam, termasuk penggunaan model difusi, pemetaan risiko, dan integrasi data demografi dan lingkungan. Meade dan Emch (2010, hlm. 5) menekankan bahwa “Medical geography is both an ancient perspective and a new specialization,” menunjukkan bagaimana tradisi geografi telah lama digunakan untuk memahami hubungan antara manusia dan lingkungan dalam konteks kesehatan. Lebih jauh, Geografi Fisik—yang mencakup studi tentang atmosfer, hidrosfer, litosfer, dan biosfer—adalah sains murni yang sangat bergantung pada prinsip fisika, kimia, dan matematika.
Dalam Introduction to Physical Oceanography, Robert H. Stewart (2008) menjelaskan bahwa pemahaman tentang arus laut, suhu permukaan, salinitas, dan dinamika El Niño-La Niña membutuhkan pemodelan matematis, analisis data satelit, dan penerapan hukum fluida. Misalnya, konsep geostrophic balance—yang menjelaskan aliran arus laut akibat keseimbangan antara gaya Coriolis dan gradien tekanan—didasarkan pada persamaan diferensial dan dinamika fluida (Stewart, 2008, hlm. 162). Hal ini menunjukkan bahwa Geografi Fisik bukanlah ilmu deskriptif yang bisa diajarkan hanya melalui narasi, tetapi ilmu kuantitatif yang memerlukan dasar kuat dalam IPA.
Namun, dalam sistem pendidikan saat ini, siswa IPA yang mungkin tertarik pada kajian perubahan iklim atau mitigasi bencana laut tidak pernah diperkenalkan dengan Geografi Fisik, sementara siswa IPS yang belajar Geografi sering kali tidak memiliki bekal matematika dan sains untuk memahami kedalaman ilmiahnya. Fakta ini menciptakan celah besar dalam kapasitas bangsa untuk mengelola wilayahnya secara strategis. Indonesia, sebagai negara maritim dengan lebih dari 81.000 km garis pantai dan posisi strategis di jalur perdagangan global, membutuhkan generasi yang melek geospasial. Namun, jika Geografi hanya diajarkan sebagai bagian dari IPS, maka kita menghasilkan dua kelompok: (1) siswa IPA yang paham sains tetapi buta terhadap konteks spasial, dan (2) siswa IPS yang paham wilayah tetapi tidak mampu melakukan analisis kuantitatif.
Geografi juga merupakan jembatan antara teknologi dan kehidupan manusia. Dalam era digital, Geografi menjadi poros utama dalam pengembangan Sistem Informasi Geografis (SIG), penginderaan jauh, dan pemetaan berbasis satelit. Peter A. Rogerson dalam Statistical Methods for Geography (2001) menegaskan bahwa analisis spasial adalah inti dari geografi modern. Ia menjelaskan bahwa metode statistik—seperti regresi geografis, deteksi kluster, dan analisis autokorelasi spasial—adalah alat utama untuk memahami pola dan proses di permukaan bumi. Rogerson (2001, hlm. 4) menyatakan bahwa “spatial analysis is central to geography,” dan bahwa ilmu ini harus mampu menjawab pertanyaan seperti mengapa suatu fenomena terjadi di lokasi tertentu dan bagaimana ia menyebar. Dengan demikian, Geografi bukan hanya cocok untuk siswa IPS, tetapi sangat relevan—bahkan penting—untuk siswa IPA. Ia adalah ilmu yang secara alami menghubungkan alam, manusia, dan teknologi. Menempatkannya hanya dalam rumpun IPS adalah pengingkaran terhadap hakikat interdisiplinernya. Untuk itu, kita perlu membangun kurikulum yang memungkinkan semua siswa, terlepas dari peminatannya, untuk mengakses ilmu ini secara mendalam dan holistik.
Geografi Fisik: Sains Murni yang Tak Bisa Dilepaskan dari IPA
Geografi Fisik adalah ilmu yang secara epistemologis berada di jantung Ilmu Pengetahuan Alam (IPA). Ia mempelajari sistem bumi—geosfer, hidrosfer, atmosfer, dan biosfer—melalui pendekatan ilmiah yang kuantitatif dan empiris. Robert H. Stewart dalam Introduction to Physical Oceanography (2008) menunjukkan bahwa pemahaman tentang dinamika laut, seperti arus permukaan, gelombang, dan pasang-surut, tidak bisa dipisahkan dari hukum-hukum fisika dan matematika. Misalnya, analisis arus geostropik memerlukan pemahaman tentang keseimbangan antara gaya Coriolis dan gradien tekanan, yang merupakan konsep dari mekanika fluida (Stewart, 2008, hlm. 162).
Demikian pula, pemodelan El Niño-Southern Oscillation (ENSO) melibatkan data suhu permukaan laut, angin permukaan, dan tekanan atmosfer yang dianalisis secara statistik dan spasial. Fakta bahwa Geografi Fisik sangat bergantung pada sains alam menunjukkan bahwa menempatkannya hanya dalam rumpun IPS adalah pengingkaran terhadap hakikat ilmiahnya. Siswa IPA, yang telah mempelajari fisika, kimia, dan matematika, seharusnya diberi kesempatan untuk mempelajari Geografi Fisik sebagai bagian dari kurikulum mereka. Namun, dalam kenyataannya, siswa IPA tidak diajarkan Geografi secara sistematis, sehingga mereka kehilangan akses ke ilmu yang sangat relevan dengan kajian perubahan iklim, bencana alam, dan ketahanan maritim.
Padahal, pemahaman tentang dinamika sistem bumi adalah kunci untuk merespons krisis global seperti pemanasan global, kenaikan permukaan laut, dan erosi pantai. Lebih dari itu, Geografi Fisik memberikan dasar ilmiah untuk memahami bencana alam yang sering melanda Indonesia. Gempa bumi, tsunami, letusan gunung api, dan banjir bandang adalah fenomena yang tidak bisa dipahami hanya melalui narasi, tetapi melalui analisis geofisika, hidrologi, dan geomorfologi. Harm de Blij dalam The Power of Place (2008) menyatakan bahwa “the power of nature over the fortunes of populated space” adalah faktor kunci yang sering diabaikan oleh pembuat kebijakan. Tanpa pemahaman geografis yang kuat, perencanaan infrastruktur, pembangunan kota, dan kebijakan mitigasi bencana akan selalu reaktif, bukan proaktif.
Di sisi lain, perkembangan teknologi seperti satelit, radar, dan sensor jarak jauh telah mengubah Geografi Fisik menjadi ilmu yang sangat bergantung pada data real-time. Tim Marshall dalam The Future of Geography (2023) menunjukkan bagaimana negara-negara besar bersaing untuk menguasai posisi strategis di orbit Bumi, seperti Lagrange points, yang memungkinkan pengawasan global. Bahkan peluncuran satelit pun dipengaruhi oleh geografi: lokasi seperti French Guiana (dekat khatulistiwa) memberikan keuntungan fisika karena kecepatan rotasi Bumi yang lebih tinggi (Marshall, 2023). Jika Indonesia ingin menjadi pemain global, generasi muda harus memahami bahwa geografi bukan hanya tentang daratan, tetapi juga tentang ruang, udara, dan orbit.
Oleh karena itu, Geografi Fisik harus diintegrasikan ke dalam kurikulum IPA, bukan hanya sebagai tambahan, tetapi sebagai bagian dari sains inti. Ia harus diajarkan dengan pendekatan kuantitatif, eksperimen, dan analisis data, bukan hanya deskripsi. Dengan demikian, siswa IPA akan memiliki bekal yang memadai untuk memahami tantangan spasial yang dihadapi bangsa, dari laut hingga atmosfer.
Geografi Kesehatan: Ketika Ruang Menentukan Risiko Penyakit
Dalam Medical Geography, Meade dan Emch (2010) menunjukkan bahwa lokasi menentukan kesehatan. Mereka menyatakan bahwa “where you live affects your risk of disease, access to basic resources of food, clean water, and housing, and concepts of health” (hlm. 388). Penyebaran penyakit seperti malaria, HIV, dan kolera sangat dipengaruhi oleh faktor spasial, termasuk iklim, topografi, dan akses terhadap layanan kesehatan. Misalnya, malaria lebih prevalen di daerah tropis dengan kelembapan tinggi dan banyak genangan air, yang menjadi tempat berkembang biak nyamuk Anopheles. Tanpa pemahaman geografis, kebijakan kesehatan publik akan gagal membaca pola-pola ini.
Selain itu, buku ini menekankan pentingnya pemetaan spasial dalam penanggulangan pandemi. Dalam konteks COVID-19, analisis spasial digunakan untuk memetakan kluster penularan, mengidentifikasi daerah rentan, dan merencanakan distribusi vaksin. Namun, jika Geografi hanya diajarkan sebagai bagian dari IPS, maka siswa IPA—yang mungkin menjadi ilmuwan kesehatan, epidemiolog, atau perencana kota—tidak akan memiliki dasar pemahaman spasial yang kuat. Akibatnya, mereka akan kesulitan melakukan analisis yang holistik dan berbasis data.
Geografi kesehatan juga membantu memahami ketimpangan akses terhadap layanan medis. Di Indonesia, banyak daerah terpencil di Papua, Maluku, atau Nusa Tenggara yang minim fasilitas kesehatan. Pemetaan spasial memungkinkan pemerintah mengidentifikasi health deserts dan merancang kebijakan alokasi sumber daya yang lebih adil. Namun, tanpa pelatihan geografi yang memadai bagi calon dokter, perawat, atau pejabat kesehatan, kebijakan ini akan tetap bersifat intuitif, bukan strategis. Meade dan Emch juga menunjukkan bahwa banyak penelitian dalam bidang kesehatan gagal mempertimbangkan dimensi spasial, sehingga hasilnya tidak bisa digeneralisasi.
Misalnya, intervensi kesehatan yang berhasil di perkotaan mungkin gagal di pedesaan karena perbedaan akses, mobilitas, dan budaya. Dengan analisis geografis, kita bisa memahami konteks lokal dan merancang solusi yang lebih tepat sasaran. Untuk itu, Geografi harus menjadi bagian dari pendidikan kesehatan, baik di sekolah maupun di perguruan tinggi. Ia bukan hanya ilmu untuk geografer, tetapi alat penting bagi dokter, epidemiolog, dan pembuat kebijakan kesehatan. Menempatkannya hanya dalam rumpun IPS adalah pengabaian terhadap potensinya dalam menyelamatkan nyawa.
Geografi Politik dan Geopolitik: Mengapa Ini Penting bagi Indonesia
Tim Marshall dalam The Future of Geography (2023) mengingatkan bahwa: “All leaders are constrained by geography. Their choices are limited by mountains, rivers, seas and concrete.” Pernyataan ini sangat relevan bagi Indonesia, negara maritim dengan 17.000 pulau dan posisi strategis di jalur perdagangan global. Keputusan politik, pertahanan, dan pembangunan nasional sangat dipengaruhi oleh kondisi geografis. Misalnya, pembangunan Ibu Kota Nusantara (IKN) harus mempertimbangkan risiko banjir, erosi, dan konektivitas regional. Pengelolaan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) membutuhkan pemahaman tentang batas maritim, dinamika arus laut, dan ekosistem laut.
Namun, jika Geografi hanya diajarkan sebagai mata pelajaran IPS, maka calon pemimpin dan pembuat kebijakan akan kehilangan kemampuan untuk membaca geopolitical constraints dan spatial opportunities. Harm de Blij dalam The Power of Place (2008) menyatakan bahwa “geography is destiny,” artinya nasib suatu negara sangat ditentukan oleh letaknya, akses terhadap sumber daya, dan kondisi fisik wilayahnya. Indonesia, dengan potensi besar sebagai poros maritim dunia, harus memiliki generasi yang melek geospasial—bukan hanya dari sisi sosial, tetapi juga dari sisi sains dan teknologi.
Geografi politik juga membantu memahami konflik maritim, seperti di Laut Natuna, yang melibatkan tumpang tindih klaim wilayah. Tanpa pemahaman geografis yang kuat, diplomasi dan pertahanan nasional akan lemah. Geografi memberikan dasar untuk memahami strategic depth, choke points, dan maritime corridors yang menentukan kekuatan suatu negara. Oleh karena itu, Geografi harus menjadi bagian dari pendidikan kepemimpinan, pertahanan, dan diplomasi. Ia bukan hanya ilmu untuk akademisi, tetapi alat strategis bagi para pemimpin bangsa. Menempatkannya hanya dalam rumpun IPS adalah pengabaian terhadap perannya dalam membentuk masa depan Indonesia.
Geografi Kuantitatif: Statistik dan Analisis Spasial sebagai Pilar Utama
Peter A. Rogerson dalam Statistical Methods for Geography (2001) menegaskan bahwa analisis spasial adalah inti dari geografi modern. Ia menjelaskan bahwa metode statistik—seperti regresi geografis, deteksi kluster, dan analisis autokorelasi spasial—adalah alat utama untuk memahami pola dan proses di permukaan bumi. Rogerson (2001, hlm. 4) menyatakan bahwa “spatial analysis is central to geography,” dan bahwa ilmu ini harus mampu menjawab pertanyaan seperti mengapa suatu fenomena terjadi di lokasi tertentu dan bagaimana ia menyebar.
Contohnya, dalam memetakan risiko banjir di Jakarta, kita tidak hanya perlu tahu lokasi sungai dan permukiman, tetapi juga menganalisis data curah hujan, elevasi, penggunaan lahan, dan mobilitas penduduk menggunakan model statistik spasial. Tanpa dasar matematika dan statistik, analisis semacam ini tidak mungkin dilakukan. Artinya, Geografi bukan hanya cocok untuk siswa IPS, tetapi sangat relevan—bahkan penting—untuk siswa IPA. Geografi kuantitatif juga menjadi dasar bagi teknologi seperti GIS, remote sensing, dan big data. Di era digital, kemampuan membaca dan menganalisis data spasial adalah keterampilan yang sangat dibutuhkan di berbagai sektor: dari perencanaan kota, pertanian presisi, hingga logistik dan keamanan nasional.
Namun, jika siswa tidak diajarkan Geografi dengan pendekatan kuantitatif, maka mereka akan tertinggal dalam persaingan global. Untuk itu, Geografi harus diajarkan dengan pendekatan STEM—mengintegrasikan sains, teknologi, teknik, dan matematika. Kurikulum harus mencakup pelatihan dalam analisis data, pemrograman dasar, dan visualisasi spasial. Dengan demikian, Geografi tidak lagi dianggap sebagai ilmu deskriptif, tetapi sebagai ilmu analitis yang strategis.
Menuju Geografi sebagai Ilmu Rumpun Umum: Sebuah Seruan untuk Reformasi
Indonesia bukan negara daratan biasa. Ia adalah negara maritim dengan kompleksitas geospasial yang luar biasa. Kita memiliki lautan yang kaya sumber daya, pulau-pulau yang rentan bencana, dan keanekaragaman hayati yang luar biasa. Tanpa generasi yang melek spasial, kita tidak akan mampu menjawab tantangan ini. Sudah saatnya Geografi ditempatkan pada posisi yang layak: sebagai ilmu rumpun umum yang lintas disiplin, yang wajib dipahami oleh semua calon pemimpin, ilmuwan, dan pembuat kebijakan.
Kami mengusulkan agar Geografi direklasifikasi sebagai mata pelajaran lintas rumpun, yang dapat diakses oleh siswa IPA, IPS, dan Bahasa. Kurikulum harus dibagi menjadi tiga jalur: Geografi Fisik untuk siswa IPA, Geografi Sosial untuk siswa IPS, dan Geografi Teknologi untuk semua. Dalam SNBP, Geografi harus diakui sebagai mata pelajaran pendukung utama untuk program strategis seperti Ilmu Kebumian, Kelautan, dan Kesehatan Masyarakat. Geografi bukan sekadar peta. Ia adalah peta jalan menuju masa depan Indonesia yang tangguh, adil, dan berkelanjutan. Mari kita tempatkan ia pada posisi yang layak.


Komentar
Tuliskan Komentar Anda!